
Suatu ketika, kami pulang dari berekreasi, aku, suamiku, Rasya, putri kecil kami dan Hadiah, pembantu kami dari kawasan Asia. Sementara mobil yang kami naiki sesekali bergoyang-goyang menyusuri bahu jalanan yang sepi. Terjadi perbedaan pendapat antara kami dalam sebuah topik yang penting. Pembicaraan antara kami semakin memanas. Masing-masing bersikeras dengan
pendapatnya, tiada yang mau mengalah. Ia pria dengan prinsip dan keteguhannya tidak mudah baginya untuk mengubah pendiriannya. Aku anggap masalah itu erat kaitannya dengan harga diri. Aku sendiri berpegang, "Selama dalam kebenaran, aku tidak akan mengubah pendapatku."
Separuh perjalanan telah terlewati, kami saling diam. Seakan kami sedang naik sebuah kereta api di Eropa, yang masing-masing penumpang tidak mengenal siapa yang duduk di sampingnya. Tiada sepatah kata pun. Tiada pula keramahan. Detik-detik berjalan begitu lambat, terasa berat, membosankan dan menjemukan.
Hingga mobil berhenti tepat di depan rumah. Selepas kami memasukkan semua barang ke rumah. Kami menuju kamar masing-masing. Tidak ada duduk bersama. Dikiranya aku akan meminta maaf, memperlihatkan kasih sayangku padanya dan ku ketuk pintu kamarnya untuk berdamai dan memperbaiki suasana. Namun, aku tidak melakukan semua itu. Ia sama sekali tidak berbicara denganku, tidak pula mendekati kamar tidur yang biasa kami pakai istirahat bersama. Tidak juga ia minta makan atau minum. Tidak pula ada tegur sapa.
Keadaan semakin parah, kami sama sekali tidak bersinggungan, Bila mau makan, ia membelinya di warung makan dan memakannya di kamar. Dan bila pagi tiba, ia bangun guna menyiapkan keperluan kerjanya sendiri. Bila ia tiba dengan membawa barang atau sesuatu, ia ambil dan diserahkannya pada pembantu untuk diletakkan di tempatnya.
Tampaknya ia meronta dan merasakan kepedihan dalam hati. Namun ia tidak menampakkannya, berharap aku akan berupaya datang padanya, entah berjalan atau pun merangkak, namun sayangnya itu tidak pernah terjadi.
Keadaanku sendiri tak jauh berbeda dengannya. Meronta dalam hati, juga merasakan perih. Bahkan bisa jadi lebih dari yang dirasakannya. Selama itu, tiada satu kata pun keluar dari mulutku, yang mengungkapkan rasa kehilanganku dan kebutuhanku terhadapnya. Juga rasa tersiksa karena ia telah jauh dariku. Aku simpan rasa itu dalam-dalam. Karena keangkuhan serta bujuk rayu setan telah memperdayaku. Membuatku tak menghiraukan segala penderitaan. Dan aku bertahan untuk tetap tegar, meski sebenarnya rapuh.
"Jika ia menghendaki hal itu, maka biarlah itu terjadi," kataku dalam hati. Dan tak diragukan lagi, ia pasti memendam amarahnya, meredam rasa sakitnya dan menanggung semua bebannya. Tetapi, apa bah dari kebisuan? Hanya Allah Yang Maha Mengetahuinya.
Tiada dari kami yang mau mengalah, menarik kembali prinsipnya. Hari demi hari terus berlalu. Namun hubungan tetap terputus, bahkan sudah sampai pada titik nadir. Pengaruh psikologis pun semakin memuncak. Ku perhatikan kondisinya semakin memburuk, bahkan lebih buruk daripada yang kubayangkan. Terlebih, ia sebenarnya mengira bahwa ketidak-harmonisan ini akan berlalu, tidak bertahan lama. Dan dikiranya aku tidak akan bersikap sekeras itu.
Sejak peristiwa itu, hubungannya dengan pembantu pun lebih sering terjadi. sebab dialah yang menyiapkan segala keperluannya, pakaiannya, membelikan segala kebutuhannya di pasar, menyampaikan sesuatu yang kurang dan harus dibeli. Hubungan itu semakin mempersempit kesempatan baginya untuk tidak lagi kontak denganku.
Namun, tampaknya hubungan itu tidak berhenti pada hal-hal yang primer dan sekunder saja. Bahkan berlanjut pada pertemuan-pertemuan dan perbincangan. Aku sudah mengendus gelagat itu sebelum aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
Suatu malam, aku terbangun. Aku mendengar suara langkah kaki dari dalam rumah. Aku keluar kamar, mengikutinya. Dan sebelum aku mengetahui gerangan apakah itu, terdengar olehku suara pintu kamar pembantu ditutup cukup keras. Ku ayunkan langkah kakiku menuju kamarnya, sementara hatiku berdegub tidak karuan.
Aku pun sampai pada kamarnya, Ku ketuk pintu dan ternyata ia masih terjaga, gugup bukan kepalang. Ia baru saja keluar dari kamar tidur suamiku. Dengan mengarahkan tuduhan-tuduhan padanya, serta sedikit tekanan dalam mengintrogasinya. Ia pun tidak bisa mengelak. Mengakui bahwa semalaman itu ia bersamanya di kamar.
Hingga pada akhirnya aku tahu, ia telah memberinya minuman keras, melalui orang ketiga. Melalui seorang supir yang masih dari keluarganya. Dan terbongkarlah rahasia yang selama ini tertutup rapat. Tekanan jiwa yang dialaminya, juga adanya kesempatan untuk berhubungan dengan pembantu keduanyalah yang membuatnya lemah di hadapan wanita itu, hingga ia terjerumus dalam kehancuran.
Tak dapat ku tutupi lagi. Kepercayaan antara kami pun hilang setelah terbongkarnya rahasia itu. Akhirnya, pembantu itu pun di tangkap, beserta jaringan dari keluarganya yang ikut membantunya.
Penjahat, pengkhianat, Itulah kata yang mungkin pantas untuk diberikan kepadanya. Korban yang kini jatuh sakit dan sengsara, karena cinta. Setelah itu, ia hidup sendiri di apartemennya. Dan sebatas yang aku tahu, kondisi pekerjaannya pun semakin memburuk, juga kejiwaannya. ia sering tidak masuk kerja, sering pergi, Bahkan semakin menjauhkan diri dari keluarga dan teman-temannya.
Sementara aku pulang ke rumah keluargaku. Membawa serta putri kecilku. Kegelisahan berkecamuk dalam kepala dan sanubariku. Aku kehilangan suami dan aku masih belum bisa menerima hal itu. Padahal, sangat memungkinkan untuk mengatasi semua itu sejak awal. Namun sayangnya hal itu tidak terjadi. Akibat arogansi dan keangkuhanku, kupertaruhkan suami dan masa depan putriku, juga bayi dalam kandungan. Dan sekarang, ia telah tumbuh besar.
Ada batas yang membuat hubungan mereka dengan sang ayah terputus, yaitu hubungannya dengan wanita itu. Setelah itu, semua interaksi sosialnya kian memburuk. Semua usaha yang dilakukannya gagal. Pernikahannya yang kedua pun gagal, juga yang ketiga. Tidak pula berhasil dalam bisnisnya.
Itulah kisah tragis manusia. Aku tidak mengelak bahwa aku pun turut menjadi penyebab semua itu dan telah menyulutkan api yang membakar mantan suamiku.
Artikel terkait
No comments:
Post a Comment