Ini merupakan kisah nestapa yang dialami oleh seorang wanita akibat seorang pria ceroboh. Bertakwalah kepada Allah dan janganlah engkau melenyapkan nyawa manusia. Demi Allah aku sangat terharu dengan kisah ini. Semoga Allah menjadikannya pelajaran bagi kita semua. Dan semoga Allah memberinya ganti dari sisi-Nya dengan kebaikan musim gugur yang tidak datang musim semi setelahnya.
Aku dan suamiku beserta keempat anak kami hidup dalam kebahagiaan dan keceriaan. Kami bepergian, berekreasi, datang dan pergi dengan mobil. Kami tinggal di sebuah rumah yang megah. Kami tidak kekurangan satu apa pun.
Pada suatu pagi, suamiku keluar mengantarkan anak-anak ke sekolah. Sementara akumengunggu kedatangannya seperti biasa, untuk sarapan bersama. Inilah saat-saat yang paling membahagiakan dalam hidup. Aku meninggalkan pekerjaan dan profesiku demi keluarga dan pendidikan anak-anak. Dari situ aku menyadari bahwa duduk bersama suami saat sarapan adalah suatu kebahagiaan yang tiada duannya. Dimana pada saat itu, hanya ada kami berdua tanpa bising suara anak-anak atau pun kesibukan mengurus mereka. Hanya ada dia, suamiku. Maka kami pun mendapatkan kesempatan untuk berdedikasi masalah rumah tangga, bertukar pikiran dan pendapat serta menumpahkan segala keluh kesah kami. Sampai tiba waktunya ia harus bekerja. Aku pun kemudian sibuk dengan pekerjaan rumah. Menyiapkan makan siang mereka. Saat-saat penantian itu begitu menyenangkan.
Pagi itu suamiku terlambat pulang. Aku cemas memikirkannya. Aku berharap ia langsung pergi ke kantor, sebab akhir-akhir ini ia ingin berangkat pagi, terlebih jika ia ada meeting atau ada pekerjaan penting lainnya.
Tepat jam 09.30 pagi saat aku sedang bercanda dengan si kecil, tiba-tiba telpon rumah kami berdering. AKu mengangkatnya. Di seberang, suara berat laki-laki terdengar. Bertanya tentang suamiku, siapa aku, siapa saudara terdekatnya, atau kerabatnya, dan berapa nomor telepon mereka. Pertanyaan biasa, hanya saja tidak pada saat yang tepat. Kujawab pertanyaan-pertanyaan itu, sementara pikirank masih tidak karuan. Aku balik bertanya kepadanya, gerangan apa yang sedang terjadi? Apa maunya? Siapa dia? dan seterusnya. Semua pertanyaank dijawabnya dengan datar. Tidak jelas apa yang diucapkannya. Tidak banyak pula yang bisa kupahami dari jawabannya. Lalu ditutupnya telepon. Seribu tanya bergelayut dalam benak. Apa sebenarnya yang telah terjadi pada suamiku?
Aku hubungi telepon kantornya, namun dia tidak menjawab. Kucoba menghubungi nomor telepon yang lain, salah seorang temannya yang mengangkat. "Hari ini kami tidak melihatnya. Ia tidak masuk kantor." jawabnya.
Gagang telepon terjatuh dari tanganku. Ya Tuhanku, apa yang telah terjadi padanya? Pikiranku semakin tidak karuan, pertanyaan demi pertanyaan tak kunjung mendapat jawaban. Kucoba menghubungi saudarannya, di rumah dan kantornya. Tiada satu jawaban pun dari keduanya. Kuhubungi orang tuanya, namun tidak pula ada jawaban.
Apa yang harus kulakukan? Kulewati detik demi detik dengan khayalan, hingga berlalu jam demi jam. Ya Tuhanku, jagalah suamiku dan janganlah Engkau biarkan aku kehilangan dirinya.
Aku berjalan mondar-mandir di seputaran rumah, mengabaikan bayi kecilku. Tangisannya tidak sedikit pun menarik perhatianku. Sungguh, masalah yang sedang kuhadapi jauh lebih berat dari sekedar tangisan anak . Jam demi jam berlalu terasa begitu lambat, terasa seakan beberapa bulan.
Tiba saatnya anak-anak pulang dari sekolah. Namun tidak seperti biasanya, hari itu mereka datang terlambat, Aku pun menghubungi adikku, barangkali ia bisa aku ajak sharing terkait maslah pelik yang sedang kuhadapi. Ia datang. Sementara air mukanya keruh, diam seribu bahasa. Aku mengajaknya pergi menjemput anak-anak di sekolah, sambil aku memperhatikann sekitar jalanan, barangkali aku temukan suamiku. Dalam perjalanan, anak-anak bersenda gurau di dalam mobil adikku. Mereka bertanya, apakah kita akan berkunjung ke rumah saudara. Mereka juga menanyakan perihal ayah mereka. Namun aku tidak tahu harus mejawab apa.
Sampailah kami di rumah. Terlihat ibuku sudah berada di depan rumah. Tampak juga kakak, ibu mertua dan sebagian saudara-saudara suamiku. Aku terkejut melihat pemandangan itu. Tangisku pecah, penuh tanya, "Ada apa gerangan? Apa sebenarnya yang telah terjadi pada suamiku?"
Tak seorang pun yang mau bicara. Aku hanya bisa mengangis. Kekuatanku seakan hilang, aku terjatuh pingsan. Salah seorang dari mereka mengambil kunci rumah dari dalam tasku, segera mereka membuka puntu. Mereka menggotongku masuk rumah. Aku tidak dapat menguasai keadaan. Pun aku tiada tahu apa yang terjadi di sekeliling. Bahkan aku semakin tidak kuasa ketika melihat anak-anak menangis berusaha mendekati, sementara ibu mencegah mereka. Sedangkan ibu mertuaku berusaha menyeka air matanya.
Tangisan bercampur ratapan dan aku pun berteriak, "Apa yang terjadi pada suamiku? Kumohon beritahu aku!."
Salah seorang dari mereka menjawab dengan suara lirih, tenggelam dalam kesedihan, "Ia mengalami sebuah kecelakaan mobil, disebabkan seorang pemuda yang kurang hati-hati, dan dia..." suaranya terhenti, tidak jelas. "Allah berkehendak untuk memberi dan berkehendak untuk mengambil." lanjutnya.
"Ia mati?" teriakku.
Ia menjawab, "Ya." kata-kata yang keluar dari mulutnya melesat bak peluru yang membunuhku.
Kubuka mulut, namun aku tidak tahu apa yang terjadi di sekitarku. Aku merasa telah masuk dalam dunia lain. Sementara tangis terdengar di kanan kiriku, seakan suara gilingan tepung tradisional yang ditumbuk dengan tepukan tangan dan kaki. Suara-suara itu kian menguat. Rasuanya itu seperti suara panggilan kematian dan ratapan. Aku pun tidak sadarkan diri.
Selang beberapa jam, aku siuman, sementara sanak kerabat telah memenuhi rumah. Kaum pria datang dan pergi, sementara di sekelilingku banya perempuan. Aku tidak mengenal mereka satu persatu, akibat duka yang mendalam. Aku duduk linglung, hampir tidak mengenal siapa diriku sendiri.
Jam demi jam berlalu, bahkan semalam suntuk aku dalam kekalitan. Tidak mengetahui apa yang sedang terjadi di sekitarku. Namun di lain waktu, aku mendengar suara, "Semoga Allah menghapus dukamu, meredam musibahmu, dan mengampuni sang mayit." Wajah-wajah murung dirundung duka. Awan hitam pekat menyelimuti segalanya.
Bayiku memandang satu persatu wajah-wajah itu dari pangkuan salah seorang wanita. semuanya mengangis. Anak-anakku masuk kamar, melihatku lalu keluar.
Sementara putri kecilku mengeluhkan sesuatu atau menanyakan sesuatu. Namun aku tidak tahu apa yang diucapkannya. Sebuah tangisan pecah dari adik perempuanku yang duduk di sampingku. Ia raih putri kecilku dengan tangannya, dibawanya ia keluar kamar. Setelah itu aku tahu ternyata ia menanyakan tentang ayahnnya.
Putraku masuk kamar, bertanya tentang ayahnya, dan mengeluhkan bahwa mainannya diambiltemannya. Ia ingin memberitahu hal itu ke ayahnya, "Demi Allah, aku akan memberitahukannya pada ayah." Rasa sedih dan duka semakin bertambah.
Gelombang kesedihan meledak-ledak di hari yang penuh duka itu. Iya, duhai ankakku. Engkau tidak akan dapat menlihat ayahmu lagi setelah ini. Tiada yang membelamu dan mengembalikan mainanmu. Sungguh, itulah saat-saat yang penuh duka nestapa. Tiada yang mengetahuinya kecuali ia yang pernah merasakannya.
Selera makan dan minumku hilang. Aku juga tidak bisa tidur akibat duka yang kualami. Andai aku tidak mengingat Allah, tidak mau bersabar dan shalat, niscaya aku sudah gila.
Selama beberapa hari, sebagian sanak famili ikut tinggal bersama kami. Namun rumah terasa telah berubah. Takkan bisa kembali lagi kilau kebahagian dalam rumah ini. Rumah ini telah menjadi mimpi buruk. Tidak mungkin lagi aku bisa tinggal di dalamnya (rumah tidak lagi serasa rumah dan tetangga sudah tidak lagi serasa tetangga). Setiap kali melihat apa saja milik suami, tangisku pun pecah. Entah pakaiannya, lemarinya, bukunya, atau yang lainnya. Aku tidak lagi kuasa tinggal di dalam kamar tidurnya, tidak pula meja erjanya dan tidak pula pada sesuatu yang disukainya. Aku tenggelamkan diriku dalam sangkar kesedihan dan menahan duka selama beberapa hari.
Tatkala anak-anak berangkat ke sekolah, teringat olehku sosok suami yang keluar mengantar mereka, juga menjemput mereka semua. Pun saat-saat sarapan dan makan siang bersama dimeja makan. Teringat saat kami keluar untuk rekreasi dan jalan-jalan, pun kebahagiaan yang ridak akan meungkin bisa kembali. Aku mengenang masa-masa penuh keriangan dan hari-hari indah yang kami habiskan bersama. Mengenang saat anak-anak sedang menunggu kedatangan ayahnya dibalik pintu. Tawa ria dan sambutan penuh hangat menyambutnya saat masuk rumah. Kebahagiaan yang tiada pernah tergantikan.
Ah,cukuplah Allah bagiku, atas orang yang melenyapkan kebahagiaan itu dari kehidupan kami.
Serelah hari-hari penuh duka lara itu, aku tak kuasa mendengar pertanyaan anak-anak tentang ayahnya, serta keberadaan kami di rumah itu. Sungguh, keberadaan kami di rumah ini semakin menambah duka dan nestapa, pagi dan sore, mengingatkan kenangan-kenangan yang memilukan itu.
Akhirnya, kuputuskan untuk tinggal bersama adikku, Ternyata kesedihan itu tiada knjung usai. Aku dan anak-anak harus berhadapan dengan dua hal, adik iparku serta interaksinya dengan kami, juga kesedihan yang terus menrundung setiap kali aku mengingat suami. Bahkan setiap kali keponakanku memanggil ayah mereka, "Ayah... Ayah..." kesedihanku meledak dalam hati, berulang kali.
Sesuatu yang paling membuatku sedih dan mengangis yaitu bila melihat anak-anak menangis, karena mengingatkan ayah mereka mengajak jalan-jalan ke pasar dan restoran siap saji, bercanda tawa dan menghibur mereka. Juga menemani mereka belajar di rumah, menjaga, melindungi dan mendidik.
Ya, mereka tidak akan mendapatkan pengganti ayah mereka dan tidak akan ada seorang pun yang dapat menggantikan ayah mereka. Mereka sekarang yatim, tiada daya dan upaya bagi mereka. Bukan karena kesalahan mereka.
semua itu atas kehendak Allah. Sebab kecerobohan pemuda yang menabra mobil suamiku. Meskipn pemuda itu hanya membunuh suamiku sekali saja, namun sungguh ia telah membunuhku dan anak-anakku puluhan kali, sepanjang hari dan sepanjang malam dengan kegalauan, kesedihan, kesengsaraan dan penderitaan.
Hasbiyallahu wa Ni'ma Al-Wakil. Cukup Allah menjadi penolongku dan Dia-lah sebaik-baik pelindung. Begitulah Allah mengubah keadaan. Hari-hari penuh dengan kejutan-kejutan. Roda kehidupan berputar, terkadang berpihak pada kita dan terkadang berpaling. Renungkanlah, wahai orang-orang yang memiliki akal. Itu adalah pesan bagi siapa saja yang memiliki hati agar tidak ceroboh dalam menyetir. Dan bagi setiap ayah agar tidak memberi mobil kepada anaknya, yang akan membunuh orang dengannya.
Maka renungkanlah akhir dari kehidupan dunia ini, bahwa tidak selamanya ia (dunia) akan menjadi rumah kebahagiaan. Dunia tidak akan tetap, kekal, saat kita telah mendapatkan bagian dari kebahagiaan semu. Aku memohon kepada Allah agar menjadikan kami bagian dari penghuni surga yang kenikmatannya kekal abadi dan mempertemukanku dengan suamiku dalam surga yang penuh kenikmatan.
Dan sepanjang sisa usia, aku akan mengerjakan apa saja untuk mendapatkan itu. Akan kuperbuat amal shalih yang dapat mendekatkanku kepada Allah dan menjadikanku sebagai bagian dari orang-orang yang mendapatkan rahmat, kasih sayang dan kemurahan-Nya. Dengan itu semua aku berharap akan dimasukan ke dalam surga. Agar aku mendapatkan kebahagiaan yang tidak ada kesengsaraan setelahnya. Sementara kebahagiaan dunia penuh dengan kesengsaraan dan tidak ada yang kekal di dalamnya.
Artikel Menarik Lainnya:
No comments:
Post a Comment