jadikan aku objek permainan. Mereka selalu membuat-buat masalah dan menyulutkan api perselisihan. Mereka kabarkan kepada suamiku berita bohong bahwa aku sering keluar rumah dan sering menelpon, saat suamiku sedang tidak dirumah.
Aku harus banyak bertahan dan bersabar menghadapi semua itu, agar aku tidak terjerumus pada jurang kegagalan dan penyesalan. Namun apa yang terjadi, batas kesabaranku tampaknya telah hilang bersama perubahan sikap suami terhadapku. Ia lebih mendengar ucapan ibu dan saudar-saudaranya. Ia tak lagi menghiraukanku. Bahkan kini ia mulai menghunjamku dengan celaan dan sumpah serapah. Lebih dari itu, ia pun tak segan memukul. Namun aku tetap berusaha tabah, menahan semua itu. Tetapi seiring berjalannya waktu, tabir mulai tersingkap, bahwa ia telah mengkhianatiku (selingkuh) dan itu diakuinya secara terang-terangan.
Sungguh, rasanya aku tak kuasa menahan gejolak ini. Aku tak kuasa lagi bertahan. Aku lari ke rumah ayahku. Lalu kuminta agar ia menceraikan aku, namun ia menolak dengan dukungan dari ibu dan saudara-saudaranya. Setelah aku mengalah, tidak meminta sedikitpun dari semua hakku, ia pun mau menceraikanku. Saat itu, tujuanku hanya agar bisa keluar dari neraka yang penuh nestapa itu, walau dengan cara apapun. Dan benar, akhirnya aku berhasil keluar. Sayangnya, aku keluar dengan surat cerai, sementara usiaku belum genap dua puluh tahun.
Suamiku, semoga Allah mengampuninya, sebenarnya penuh dengan aib dan kebiasaan buruk yang kontradiktif dengan romantisme yang kudapatkan semenjak kecilku. Kebiasaan buruknya itu seperti: ia sering berbicara denganku dengan kondisi mulut penuh makanan, sehingga semprotan dari mulutnya kerap mengotori wajahku. Selain itu, ia juga punya kebiasaan buruk dan tidak patut. Ia tidak biasa menggunakan sapu tangan atau tisu untuk membersihkan ingusnya, tetapi ia langsung menelannya. Sesuatu yang tak patut dilihat siapa pun. Dia, semoga Allah memaafkannya, tidak bisa memelankan suaranya saat berbicara. Suaranya keras, sampai-sampai keesokan harinya, aku mendengar dari tetangga bahwa ia mengetahui secara detail apa yang terjadi dalam apartement kami, tanpa harus menguping.
Ia tidak pernah mau menghargai hak privasiku, barang-barang pribadiku, kamar atau lemariku. Bahkan ia dengan kepongahannya, memintaku menyiapkan makanan, nasi dan daging untuknya di tengah malam buta. Karena siang hari ia tidur, sehingga ia tidak bisa tidur pada malam harinya. Tanpa peduli kondisiku yang tidak tidar pada siang hari. Aku harus bangun pagi-pagi dengan pekerjaan rumah serta untuk menyiapkan keperluan anak-anak ke sekolah.
Apakah aku berlebihan?
Yang pasti, aibnya amatlah banyak. Namun, aku baru sadar sekarang setelah perceraianku dengannya, bahwa satu aibku lebih berat daripada seluruh tumpukan aib-aibnya. Satu-satunya aibku, aku tidak pernah mau diam dengan semua itu tanpa mencelanya dan meremehkannya, mencelanya atas perilaku buruknya yang amat keterlaluan. Bahkan aku tampakan rasa jiikku atas perilaku buruknya di hadapan siapa saja. Biasanya ia hanya terdiam keheranan dengan kritikan pedas itu, seakan menyimpan dengdam di dalam benaknya untuk melakukan pembalasan. Sampai pada suatu hari aku dibuatnya kaget bukan kepalang. Saat itu aku baru bangun dari tidur dan menemukan secarik kertas di samping ranjang. Ia menulis di secarik kertas itu.
"Akan aku kirim nafkah anak-anak untukmu setiap awal bulan, dan akan segera sampai padamu surat cerai."
Kini, aku telah menikah lagi, setelah perpisahan kami. Aku jadikan perceraianku sebagai tema perbincanganku dengan teman-teman wanita dan kerabatku. Padahal sebelumnya tidaklah begitu. Aku mendapatkan kenyataan baru, bahwa ternyata apa yang kualami selama ini juga dialami oleh mereka, di rumah tangga mereka dengan suami-suami mereka. Tentunya dengan sedikit perbedaan dan pengecualian. Mengeluhkan suaminya yang berteriak keras dihadapan saat menceraikannya. Begitu juga setelah perceraian, sang istri berusaha mencari-cari aib dan kesalahan yang dapat mencoreng harga diri mantan suaminya. Disebutnya bahwa mantan suaminya pelit dan tergila-gila pada harta. Selama bersamanya, hidupnya terasa terkungkung, tidak leluasa dan tidak mendapatkan nafkah. Barangkali keraguan, rasa cemburu dan hidup bersamanyalah inti dari neraka itu. Dan seterusnya dan seterusnya. Bahkan bisa jadi semuanya, semua alasan itu hanya sekedar apologinya untuk menghibur dirinya sendiri atas kegagalan pernikahan yang membekas dibenaknya. Agar tidak ada yang berkata bahwa ia tidak berhasil dalam perkawinannya karena aib dan kesalahannya sendiri. Yang mana hal itu akan menutup kesempatannya untuk menikah lagi, sesuatu yang tentunya tidak diharapkannya terjadi.
Artikel Menarik Lainnya:
- Hilangnya Sebuah Kehormatan
- Korban Terus Berjatuhan
- Yang Tertipu
- Nasehat yang Menjerumuskan
- Saat-saat Penyesalan yang Lama
- Penyesalan
- Balasan yang Segera
- Buah Kezhaliman (2)
- Kelamnya Kezhaliman
- Buah Kezhaliman
Demikian sebuah kisah tentang "Balas Dendam", Semoga dari kisah ini dapat menjadi pelajaran buat kita semua, jadikanlah ini sebagai pengalamana yang sangat berarti dalam hidupmu.
No comments:
Post a Comment